\"Writing.Com
*Magnify*
SPONSORED LINKS
Printed from https://shop.writing.com/main/view_item/item_id/2186713-Terima-Kasih-Sahabat
Item Icon
Rated: 13+ · Short Story · Death · #2186713
Reuni antar dua manusia
"Halo, sahabatku," ucapku pelan. Selama kata itu terucap, Aku mengelus lembut kayu putih yang menancap kuat di atas gundukan tanah merah. Terdapat nama sahabatku di sana dan tanggal terakhir dia bernapas. "Sudah berapa tahun kita terpisah? Sepuluh, kah?" tanyaku. Seperti mengharapkan jawaban, Aku jongkok di samping nisannya dan menunggu.

"Aku teringat saat kita pertama kali bertemu di angkringan. Kamu masih muda saat itu, Aku pun tak kalah muda, haha. Kita pun sama-sama miskin, sama-sama berkemampuan minim untuk bertahan hidup. Kamu pemulung, Aku tukang cuci. Kita terus hidup melarat dan sengsara. Namun semejak keputusanmu itu, hidupku berubah drastis."

Tujuh kembang bertebaran. Air tumpah dari botol hingga tanah berubah kegelapan.

"Kau mencoba untuk mengambil barang orang. Mencuri, maksudku. Aku pikir kamu gila. Tapi kau bersikeras dan kondisi keuanganku sudah sangat tipis. Setelah menyetujui, kita buat rencana semalaman dan berangkat malam esoknya. Yah, kupikir mencuri itu sangat susah. Namun nyatanya kita masuk ke rumah wanita itu dalam semenit saja. TV dan laptop kita sikat, emas dan uang kita rampas. Kita merasa seperti raja!"

Lelah jongkok, Aku berdiri sambil menyulutkan rokok.

"Namun wanita sialan itu melihat dari punggung kita. Suaranya yang nyaring itu menjerit maling. Entah refleks atau apa, Aku menikam perut wanita itu sekitar lima kali dengan pisau yang kubawa. Oh, betapa paniknya kita, seperti lalat terjebak di sarang laba-laba. Barang harta kita tinggal, bahkan tertendang-tendang saat kita mencoba kabur. Aku ingat sekali, massa siap menghukum kita di depan teras. Kita keluar lewat belakang melompati jendela, tanpa hasil apapun. Rute pelarian kita abaikan, kita lari kocar-kacir,"

Belum habis terbakar api, rokokku terjatuh di tanah lembab.

"Pikiran mudaku sungguh licik, sahabatku."

Sepatu kulitku menggilas habis bara rokok.

"Aku menggiringmu ke sebuah jalan buntu. Kau kubiarkan lari duluan, Aku mengekormu. Selama massa tak terlihat dan kau tak memperhatikan keberadaanku, Aku menyelinap ke sebuah gang tikus. Dengan napas cepat aku memandang para massa berlari dengan amarah, mengabaikan keberadaanku."

Rumput liar habis tercabut oleh tanganku.

"Kasihan sekali dirimu, sahabatku. Mati di tangan massa. Tubuhmu mereka cincang di ujung jalan. Organmu mereka bakar. Jeritan tolongmu hanya sekedar membangunkan nyamuk tidur. Seakan pentas seni, Aku hanya bisa menonton. Wajah para massa terlihat sangat puas saat itu. Saat mereka berbalik badan dan mencari pelaku satunya, Aku bersembunyi kembali di bayangan. Mereka tidak menemukanku."

Mataku memandang kosong. Putih nisan itu seakan semakin menyala. Kemudian dadaku sesak.

"Ayo, sudah setengah lima. Sedikit lagi masuk adzan magrib." Seru istriku dari luar pemakaman. Dia sedang menggendong anakku, Nanda, yang tertidur pulas. Aku tersenyum membalas. Masih banyak yang ingin Aku bicarakan, tapi sepertinya kusudahi saja.

"Sahabatku, Aku mampir ke sini untuk meminta maaf untuk segalanya, dan ... berterima kasih. Terima kasih kau sudah mati untukku. Terima kasih kau sudah menjadi umpan bagi massa itu. Terima kasih atas keputusan bodohmu itu. Jika tidak, Aku mungkin tidak akan bercermin. Aku mungkin tidak akan mulai berubah dan bekerja keras."

"Sekarang Aku sukses dan bahagia. Hidupku bergelimpangan harta, kenalanku orang-orang berstatus tinggi. Istriku baru kupinang 4 tahun yang lalu, dan dianugrahi bayi laki-laki. Pekerjaanku halal, bergaji besar. Setiap lebaran, angpaoku minimal Rp 100.000 per anak, hahaha! Semua itu Aku dapatkan karena kau! Andai kita bisa lari bersama saat dulu, kau mungkin sudah jadi teman kerjaku. Sayang saja, takdir berkata lain. Jika kau memang tetap benci akan tindakanku, Aku mengerti. Tapi Aku ingin kamu tahu, sahabatku..."

Aku kembali mengelus nisannya.

"Kaulah sahabat terbaikku."

Aku kemudian berbalik badan menuju istriku. Kita pergi meninggalkan tempat itu. Setelah kunjungan terakhirku itu, setidaknya Aku merasa sedikit lega. Selama perjalanan Aku tertawa puas.

© Copyright 2019 Donna Gitawa (dogik at Writing.Com). All rights reserved.
Writing.Com, its affiliates and syndicates have been granted non-exclusive rights to display this work.
Printed from https://shop.writing.com/main/view_item/item_id/2186713-Terima-Kasih-Sahabat